Thursday, June 8, 2017

Tradisi Kematian Dan Penguburan Dalam Suku Batak


Tradisi Kematian Dan Penguburan Dalam Suku Batak

JIWA BATAK-Kematian. Satu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata, serta biasanya dihindari manusia untuk diperbincangkan.  Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi.
Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah unik dan sangat khas. Ya, adat budaya kematian suku Batak memang beda dari kebanyakan suku yang ada di Indonesia.

Pada masyarakat Batak (Toba) dikenal 8 tingkat kematian. Dari yang terendah:

  1. Mate Tarposo (Mati dalam kandungan atau saat masih bayi).
  2. Mate Poso (Mati kanak-kanak dan sebelum kimpoi).
  3. Mate Pupur (Mati tua tanpa pernah kimpoi).
  4. Mate Punu (Mati sesudah kimpoi, tidak punya anak).
  5. Mate Mangkar (Mati setelah ada anak yang kimpoi, tetapi belum punya cucu).                                           
  6. Mate Sarimatua (Mati sudah punya cucu, tetapi masih ada anaknya yang belum kimpoi).
  7. Mate Saurmatua (Mati setelah semua anak kimpoi dan mempunyai cucu).
  8. Mate Mauli Bulung (Mati setelah cucunya sudah punya cucu lagi dan status sosialnya baik serta tak ada seorang pun dari keturunannya meninggal mendahuluinya).
Baca Juga ; Keunikan Karakter Suku Batak
 Mulai dari Mate Tarposo hingga Mate Punu dapat dikatakan tidak dilakukan acara adat yang berarti, karena hal itu dianggap belum lengkap kehidupan seseorang. Acara adat dilakukan dan akan semakin besar serta memakan waktu lama dimulai dari jenis Mate Mangkar hingga kepada Mate Mauli Bulung.
penghormatan terhadap seorang leluhur yang berada di alam baka dapat kita lihat melalui bentuk kuburan yang ada.

Baca Juga ; Kesamaan Suku Batak Dan Suku Toraja

Bagi orang Batak (Toba), kuburan terdiri dari tiga jenis yaitu:

  1. Kuburan umum tempat pemakaman satu kampung (Huta).
  2. Disebut “Tambak” berupa tanah yang ditinggikan di atas kuburan seorang yang mati dalam peringkat Sarimatua/Saurmatua. Tanah yang ditinggikan tersebut terdapat rumput manis, diletakkan secara terbalik, bertingkat tiga, lima, tujuh. Di atas tanah yang ditinggikan itu ditanam pohon Hariara/Beringin atau Bintatar sebagai pertanda. Dengan berbagai variasi yang berkembang kemudian, Tambak digunakan sebagai pusara bagi keluarga atau marga dan biasanya dibangun di kampung asal (Bona Pasogit).
  3. Tugu sebagai monumen, pembangunannya berkembang secara besar-besaran setelah Tugu Raja Sisingamangaraja XII dibuat. Tugu biasanya dibangun untuk persatuan marga di bona pasogit (kampung asal) dan di dalamnya terdapat tulang belulang leluhur dengan ritual Mangokkal Holi atau menggali dan memindahkan tulang belulang.
Baca Juga ; Sejarah Batak Toba Keturunan Israel


Salam HORAS...

MAULIATE


No comments:

Post a Comment